Sejarah Negara dan Sistem Informasi Nasional

Bahwa, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. (UUD 1945, Pasal 28 f).



Dengan dalih Rahasia Negara, pemerintah kemudian membatasi akses informasi masyarakat. Pertimbangannya, apabila data informasi tersebut secara mudah diakses oleh masyarakat maka besar kemungkinan akan menimbulkan gejolak, yang mana relatif mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Alvin Toffler mengatakan bahwa siapa saja yang lebih dulu menguasai informasi maka dialah yang lebih dulu menguasai dunia. Tanpa mengenal konsep pemikiran Alfin Toffler ini, jauh sebelum era Orde Baru, Ken Arok telah menerapkan politik manajemen informasi dengan mengaburkan asal-usulnya dan menasbihkan dirinya sebagai keturunan dewa. Tujuannya sederhana, tentu saja untuk melegitimasi kekuasaannya. Sejarah telah mencatat bahwa Ken Arok mendapatkan kursi kekuasaan Tumapel, yang kemudian diubahnya menjadi Singosari, dengan strategi suksesi berdarah yang disebut kudeta.

Pola pembangunan image dengan sedikit sentuhan pada pengelolaan informasi juga dilakukan Wali Songo, sebagai representasi kekuasaan Kerajaan Demak dalam bidang keagamaan. Dengan membongkar makam Sekh Siti Jenar dan menukar jenazahnya dengan bangkai kuda, Wali Songo berharap pengikut Sekh Siti Jenar akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan sehingga transformasi ideologi dapat terputus siklusnya. Presiden Soeharto, sebagai ikon tirani rezim Orde Baru, juga melegitimasi kekuasaannya dengan manajemen informasi yang bermuara pada pembangunan image. Pemposisian dirinya sebagai 'Bapak Pembangunan' merupakan realitas penggunaan konstruksi image yang sarat dengan kebohongan.

Masyarakat sebagai konsumen informasi, dikerdilkan dengan penyumbatan akses-akses informasi sehingga hanya mengetahui dan memahami yang baik-baik saja dari sosok dirinya. Apabila ada warganegara Indonesia yang mencoba untuk menggali informasi lebih jauh maka delik Pelanggaran Rahasia Negara maupun 'Pencemaran Nama Baik' telah menunggu mengantarkannya ke balik jeruji penjara. Pada hakekatnya, semua individu memerlukan informasi karena informasi dapat menjadi pijakan pemikiran dan penentuan suatu tindakan. Secara yuridis formal, legalisasi akses informasi bagi warganegara Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 f. "Bahwa, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

"Penegakan hak akses informasi makin membuka peluang bagi pemerintah untuk membangun konstruksi yang akuntabel dan mampu meningkatkan kompetensi dan efisiensi, karena masyarakat dapat melakukan kontrol secara langsung, atau dalam bahasa hukum pemerintahan disebut sebagai 'pengawasan melekat'.

Secara mendasar, dalam sebuah informasi terkandung adanya nilai yang dapat diukur oleh orang yang mengelolanya. Nilai tersebut relatif berbeda, bergantung pada kepentingan maupun kemampuan dari sang pengelola informasi tersebut. Hal ini melahirkan pembeda-bedaan perlakuan terhadap masing-masing informasi dalam interaksi-komunikasi publik. Salah satunya adalah dengan merahasiakan informasi, yang mana informasi dikelola dan diklasifikasikan mana yang layak dikonsumsi oleh publik dan mana yang tidak. Demi pertahanan dan keamanan negara, Rahasia Negara layak mendapatkan perlindungan secara proporsional, sehingga urgen untuk dirumuskan melalui suatu sistem informasi nasional dalam rangka penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara, dengan tetap berdasar pada kerangka demokratisasi.

Adanya pedoman yang dapat dijadikan ukuran oleh seluruh rakyat Indonesia dalam menilai rasionalitas penyelenggaraan Rahasia Negara, menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Agar tercipta suatu sistem penyelenggaraan negara yang akuntable. Sistem informasi nasional mengatur ketentuan-ketentuan mengenai akses Rahasia Negara, termasuk di antaranya adanya pengecualian pelaksanaan hak dan kebebasan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Ketika Rahasia Negara mendapatkan perlindungan, hal ini menuai banyak kritikan dan mengundang kekhawatiran dari berbagai komponen masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa selama ini Rahasia Negara banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang ada di dalam pemerintahan demi kepentingan yang bersifat pribadi. Misalnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Selama ini, publik masih kesulitan mengakses RTRW karena dinyatakan sebagai rahasia. Namun, oknum-oknum di pemerintahan yang memiliki akses informasi tersebut seringkali menggunakan kemampuannya semata untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Polemik pengembangan tata kota di Denpasar Bali, ataupun kasus-kasus privatisasi lahan di sekitar Gelora Bung Karno (senayan), adalah contoh permasalahan penyalahgunaan akses informasi RTRW demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Memang, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan condong korupsi dan kekuasaan absolut dijamin korupsi).

Penempatan Rahasia Negara sebagai suatu sistem informasi nasional, harus diluruskan kembali maknanya. Karena, penempatan ini pada dasarnya memiliki makna bahwa sistem informasi pemerintahan harus diletakkan dalam kerangka sistem informasi negara. Artinya, kepentingan yang melandasi pelaksanaan sistem informasi tersebut ialah kepentingan kolektif seluruh bangsa Indonesia. Pemerintah bukanlah negara. Pemerintah hanyalah salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, keberadaannya tetap berada di bawah rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Usaha untuk memberikan perlindungan terhadap Rahasia Negara, telah dilakukan oleh DPR RI yaitu dengan mengajukan RUU tentang Rahasia Negara. Hingga saat ini, RUU ini memang belum dibahas di lingkungan internal lembaga legislatif tersebut. Alasannya, pembahasan RUU ini harus sejalan dengan pemahaman substansi yang terkandung di dalam RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Karena, informasi publik yang dikecualikan untuk diakses adalah substansi yang diatur dalam Rahasia Negara. Hal ini memberi keleluasaan DPR RI untuk menunda lahirnya RUU Rahasia Negera ini, dengan dalih menunggu lahirnya UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Dalih ini memang lebih nampak sebagai pledoi atau bahkan mungkin apologi, akan tetapi ada beberapa pokok pikiran yang perlu kita cermati berkaitan dengan substansi dalam RUU Rahasia Negara ini.

Rahasia Negara yang dimaksud dalam RUU ini adalah informasi yang secara resmi ditetapkan untuk mendapatkan perlindungan melalui suatu mekanisme kerahasiaan yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku dan dilaksanakan secara bertanggungjawab dan rasional untuk mencegah atau menghadapi berbagai hal yang secara objektif dapat mengancam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian ini penekanannya ditujukan kepada perlindungan informasi, dilakukan melalui mekanisme kerahasiaan yang rasionil dan bertanggungjawab guna kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Mekanisme kerahasiaan itu sendiri diartikan sebagai dasar-dasar yang mengatur berbagai tata hubungan dalam penyelenggaraan Rahasia Negara.

Hal penting yang patut kita ketahui bahwa rahasia negara diselenggarakan berdasarkan asas legalitas, liabilitas, dan operasionalitas. Bahwa rahasia negara memiliki masa kadaluwarsa. Karena itu rahasia negara memiliki tingkatan kerahasiaan ialah tingkatan yang digunakan untuk membedakan upaya perlindungan yang diberikan terhadap suatu negara, terdiri dari sangat rahasia, rahasia, konfidensial dan terbatas. Masa kerahasiaan yaitu jangka waktu yang menentukan berapa lama suatu Rahasia Negara dapat dirahasiakan sesuai dengan tingkatan kerahasiaan dari informasi yang bersangkutan. Rahasia Negara untuk tingkatan Sangat Rahasia berakhir 30 tahun sejak ditetapkannya dan dapat diperpanjang selama 30 tahun lagi jika ada alasan yang cukup untuk melakukannya. Rahasia Negara untuk tingkatkan Rahasia berakhir paling lama 30 tahun sejak ditetapkannya. Rahasia Negara untuk tingkatan Konfidensial berakhir paling lama 15 tahun sejak ditetapkannya. Rahasia Negara untuk tingkatan Terbatas berakhir paling lama 6 bulan sejak ditetapkannya.

Meskipun rahasia negara merupakan pengecualian dari kebebasan memperoleh informasi publik, namun tidak diperbolehkan untuk merahasiakan informasi sebagai rahasia negara dengan alasan menutupi pelanggaran hukum atau tindakan kriminal; menutupi kesalahan administrasi dan pemerintah; menghambat atau memperlamban akses terhadap informasi yang tidak berhubungan dengan pertahanan keamanan negara; menghambat, memperlamban, atau mencegah proses penegakan hukum; serta mencegah pencemaran nama baik terhadap seseorang, organisasi, atau badan tertentu.

Sanksi diberikan kepada dua pihak yang menurut aturan ini memiliki keterkaitan dengan rahasia negara, yaitu setiap orang yang berkewajiban melaksanakan pengamanan Rahasia Negara dan setiap orang yang dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan, memberitahukan atau menyerahkan kepada orang atau negara lain yang tidak berhak mengetahui Rahasia Negara. Memperhatikan pemberian sanksi yang terdapat dalam aturan ini, tersirat usaha untuk menjaga keselamatan, keutuhan keamanan dan pertahanan bangsa dan negara.

Harus kita sadari setiap pembentukan sebuah RUU memang memerlukan kesepakatan semua pihak. Semua komponen masyarakat seyogyanya berpartisipasi menjaga Rahasia Negara guna menjaga stabilitas bangsa dan negara. Pengertian Rahasia Negara memang harus kita sepakati bersama, namun kita berharap perumusan dan penetapan RUU mengenai Rahasia Negara, bukan berarti memberikan fasilitas kepada seluruh aparat pemerintahan dan pejabat publik lainnya untuk 'tidak' menyampaikan informasi publik yang harus diketahui oleh masyarakat. Spirit yang terkandung dalam RUU mengenai Rahasia Negara adalah spirit kebebasan memperoleh informasi publik yang dikecualikan oleh UU. Spirit ini akan mengiringi keinginan kita bersama untuk menciptakan sistem informasi nasional dalam kerangka demokratisasi demi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Semoga. (*)

0 Response to "Sejarah Negara dan Sistem Informasi Nasional"

Posting Komentar